Tatkala semua orang satu kesepahaman ( Sepakat ), maka sesungguhnya tidak akan pernah lahir pengetahuan (knowledge) yang baru. Padahal, tantangan dan perubahan yang terjadi dilingkungan bisnis senantiasa menghendaki kreativitas dan ide brilian. Sebuah ide akan benar-benar Ready (Available) ketika ide itu telah diperdebatkan, dibahas, dan dijajaki secara sungguh-sungguh. Namun menjajaki sebuah ide bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Hambatan utamanya terletak pada ego kita masing-masing, yaitu keinginan untuk menjadi yang paling benar dan paling hebat. Betapa banyaknya pembahasan ide yang kemudian berkembang menjadi ajang pertempuran antar ego. Dan ketika ego kita terlibat, sebenarnya kita tengah mengebiri ide itu sendiri. Kita bukan lagi menjajaki ide, kita malah sibuk membuktikan bahwa kita benar dan orang lain salah. Ketika serang-menyerang terjadi tak ada lagi yang membicarakan ide. Ide itu sudah selesai, dan tak akan berproses menjadi lebih baik.
Untuk mencapai kemajuan, sebenarnya kita benar-benar perlu menggodok gagasan itu sendiri. Bukankah sebuah gagasan hanya merupakan hasil pemikiran satu orang? Hanya mewakili satu sudut pandang? Bukankah akan lebih lengkap bila ada orang lain yang dapat memberi masukan mewakili sudut pandang yang berbeda?
Lebih jauh lagi, kita sebenarnya perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat relatif. Yang mutlak hanyalah Tuhan. Karena itu, kebenaran yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah kebenaran relatif, kebenaran yang pasti tidak lengkap karena sebagai manusia kita memiliki kecenderungan untuk melihat dari sudut pandang kita sendiri. Maka, bila ada orang yang menyerang gagasan kita, sebetulnya orang ini sedang berusaha melihat gagasan itu dari sudut pandang yang berbeda. Bila ini yang terjadi, bukankah berarti orang ini sedang melengkapi dan memperkaya gagasan kita?
Kalau demikian, ketika kita berlaku defensif terhadap ide orang lain, ada dua hal yang mungkin terjadi pada kita:
Pertama, kita melihat bahwa kebenaran versi kita adalah kebenaran yang mutlak, kebenaran yang final sehingga tidak bisa dibicarakan dan dipersoalkan oleh siapa pun. Kalau ini yang terjadi, kita sebenarnya sedang mempertuhankan diri kita sendiri.
Kedua, kita mengidentifikasi diri dengan gagasan kita. Padahal keduanya sangatlah berbeda. Orang yang bijak adalah orang yang mampu melepaskan gagasan dari si pemiliknya. Orang yang bijak menyadari bahwa sebelum sebuah gagasan dilempar ke pasar, gagasan itu perlu diuji, diserang, dieksplorasi lebih dulu sampai benar-benar matang dan teruji.
Semakin kita mampu melepaskan diri dari gagasan kita semakin bebaslah kita. Dengan kemampuan ini kita dapat melakukan dialog dan diskusi tanpa beban apa pun. Keinginan kita untuk mendapatkan gagasan yang benar-benar brilian telah membuat kita mampu mengalahkan ego kita sendiri. Dan karena itu, kita akan siap untuk berubah, mengubah dan bahkan diubah.
Tanpa kemampuan seperti ini, tidak akan pernah terjadi sebuah diskusi yang menghasilkan pertukaran gagasan dan pemikiran. Tidak pernah ada peningkatan pemahaman terhadap topik yang dibicarakan ataupun pemahaman terhadap individu-individu yang terlibat. Ketika kita belum dapat melepaskan diri dari gagasan kita, maka yang akan tercipta adalah perdebatan, pertahanan diri, dan keinginan menjatuhkan pihak lawan.
Dalam situasi seperti ini kemenangan yang akan kita peroleh sebenarnya merupakan kemenangan semu, sebab ide kita tidak memperoleh pengayaan, pengembangan dan peningkatan apa pun. Maka, menang dalam hal ini sebenarnya tak jauh berbeda dari kalah.
Kemenangan yang hakiki baru bisa kita dapatkan bila kualitas ide yang berkembang jauh di atas kualitas ide ketika pertama kali dikemukakan. Akan tetapi, bila hal ini terjadi biasanya sudah tidak jelas lagi siapa yang paling banyak memberi kontribusi terhadap ide itu. Stephen Covey memberi ilustrasi menarik untuk menggambarkan hal ini, ”This is not my way, this is not your way, this is the better way.”
Hal ini sudah tentu bertentangan dengan kemauan ego. Bukankah ego ingin dikenal, dianggap lebih pandai dan lebih hebat? Padahal ketika seseorang sudah meniti tangga kearifan, faktor “apa” akan jauh lebih penting ketimbang faktor “siapa”? Dan bukankah kebahagiaan yang tertinggi hendak kita peroleh ketika kita berhasil meninggalkan kebaikan di dunia ini? Adapun mengenai faktor “siapa”, bukankah sebaiknya kita serahkan saja pada perhitungan Tuhan?
(Article by Budi Utomo)
Artikel yang sangat bagus dan berwawasan.
BalasHapusBuat Fianiganer's86 lainnya, silahkan berkarya di blog ini 👍👍👍🙏
BalasHapus